kajian naskah drama


ANALISIS NASKAH MATAHARI DI SEBUAH JALAN KECIL1
(KARYA ARIFIN C. NOER) DENGAN MENGGUNAKAN TEORI SOSIOLOGI SASTRA

Oleh :
Sherly Prilideniya Puspitandhari2

ABSTRAK. Sastra menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Maka, memandang karya sastra sebagai penggambaran dunia dan kehidupan manusia, kriteria utama yang dikenakan pada karya sastra adalah "kebenaran" penggambaran, atau yang hendak digambarkan. Pengarang merupakan anggota yang hidup dan berhubungan dengan orang- orang yang berada disekitarnya, maka dalam proses penciptaan karya sastra seorang pengarang tidak terlepas dari pengaruh lingkungannya. Oleh karena itu, karya sastra yang lahir ditengah-tengah masyarakat merupakan hasil pengungkapan jiwa pengarang tentang kehidupan, peristiwa, serta pengalaman hidup yang telah dihayatinya. sebuah karya sastra tidak pernah berangkat dari kekosongan sosial. Artinya karya sastra ditulis berdasarkan kehidupan sosial masyarakat tertentu dan menceritakan kebudayaan-kebudayaan yang melatarbelakanginya.

Kata kunci : kajian drama, pendekatan sosiologi sastra, matahari di sebuah jalan kecil

PENDAHULUAN
Karya sastra merupakan potret kehidupan yang menyangkut masalah sosial dalam masyarakat. Persoalan sosial tersebut merupakan tanggapan atau respon sastrawan terhadap fenomena sosial beserta kompleksitas permasalahan yang ada di sekitarnya. Melalui karya sastra, persaoalan-persoalan tersebut menjadi potret indah dalam menggambarkan masyarakat bahkan dalam menganalisis kehidupan. Seorang sastrawan apabila diterjunkan di suatu daerah dengan seorang wartawan akan berbeda laporannya ketika mereka ditarik kembali. Seorang wartawan akan melaporkan peristiwa yang terjadi di daerah tersebut dengan model berita atau jurnalistik. Novel, cerpen, atau puisi akan dilahirkan oleh seorang sastrawan dalam laporannya. Karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya (Teeuw, 1980 : 11), termasuk di dalamnya situasi sastranya. Karya sastra diciptakan berdasarkan konvensi sastra yang ada, di samping juga sebagai sifat hakiki sastra, yaitu sifat kreatif sastra, karya sastra yang lahir kemudian itu dicipta menyimpangi ciri-ciri dan konsep estetik sastra yang ada selalu ada ketegangan antara konvensi dan pembaharuan (Teeuw, 1980:12). Drama merupakan salah satu yang termasuk dalam karya sastra di dalam drama pasti ada naskah yang menjadi pondasi untuk menampilkan suatu pagelaran yang bagus, Menurut KBBI naskah adalah karangan yang masih ditulis dengan tangan yang belum diterbitkan.
Menurut Sendarasik naskah drama merupakan bahan dasar sebuah pementasan dan belum sempurna betuknya apabila belum dipentaskan. Naskah drama juga sebagai ungkapan pernyataan penulis (play wright) yang berisi nilai-nilai pengalaman umum juga merupakan ide dasar bagi actor.
Berdasarkan pengertian diatas naskah drama dapat diartikan suatu karangan atau cerita yang berupa tindakan atau perbuatan yang masih berbentuk teks atau tulisan yang belum diterbitkan (pentaskan).


KAJIAN TEORI  
Pada dasarnya Sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dalam mekanisme kerjanya, dan bagaimana masyarakat itu bertahan hidup. Yang menjadi objek permasalahan sosiologi sastra adalah masyarakat. Berangkat dari pertanyaan berikut, seperti halnya sosiologi sastrapun berurusan dengan manusia yang terdapat dalam masyarakat. Dalam hal ini, sesungguhnya sosiologi dan sastra berbagai masalah yang sama.
Sosiologi sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra yang masih mempertimbangkan karya sastra dan segi-segi sosial Wellek dan Warren (1956: 84, 1990: 111) membagi sosiologi sastra sebagai berikut.
1. Sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan istitusi sastra, masalah yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial status pengarang, dan idiologi pengarang yang terlibat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra, karena setiap pengarang adalah warga masyarakat, ia dapat dipelajari sebagai makhluk sosial. Biografi pengarang adalah sumber utama, tetapi studi ini juga dapat meluas ke lingkungan tempat tinggal dan berasal. Dalam hal ini, informasi tentang latar belakang keluarga, atau posisi ekonomi pengarang akan memiliki peran dalam pengungkapan masalah sosiologi pengarang (Wellek dan Warren,1990:112)
2. Sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri yang menjadi pokok penelaahannya atau apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Pendekatan yang umum dilakukan sosiologi ini mempelajari sastra sebagai dokumen sosial sebagai potret kenyataan sosial. (Wellek dan Warren, 1990:122). Beranggapan dengan berdasarkan pada penelitian Thomas Warton (penyusun sejarah puisi Inggris yang pertama) bahwa sastra mempunyai kemampuan merekam ciri-ciri zamannya. Bagi Warton dan para pengikutnya sastra adalah gudang adat-istiadat, buku sumber sejarah peradaban.
3.  Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra, pengarang dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat; seni tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya. Banyak orang meniru gaya hidup tokoh-tokoh dunia rekaan dan diterapkan dalam kehidupannya.

            Klasifikasi Wellek dan Warren sejalan dengan klasifikasi Ian Watt (dalam Damono, 1989: 3-4) yang meliputi hal-hal berikut.
1. Konteks sosial pengarang, dalam hal ini ada kaitannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat, dan kaitannya dengan masyarakat pembaca termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi karya sastranya, yang terutama harus diteliti yang berkaitan dengan :
(a)   bagaimana pengarang mendapat mata pencahariannya, apakah ia mendapatkan dari pengayoman masyarakat secara langsung, atau pekerjaan yang lainnya,
(b)   profesionalisme dalam kepengaragannya, dan
(c)   masyarakat apa yang dituju oleh pengarang.
2. Sastra sebagai cermin masyarakat, maksudnya seberapa jauh sastra dapat dianggap carmin keadaan masyarakat. Pengertian “cermin” dalam hal ini masih kabur, karena itu, banyak disalahtafsirkan dan disalahgunakan. Yang harus diperhatikan dalam klasifikasi sastra sebagai cermin masyarakat adalah
(a)   sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ditulis, sebab banyak ciri-ciri masyarakat ditampilkan dalam karya itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis,
(b)   sifat “lain dari yang lain” seorang pengarang sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya,
(c)   genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh mayarakat,
(d) sastra yang berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya mungkin saja tidak dapat dipercaya sebagai cermin masyarakat. Sebaliknya, sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat mungkin masih dapat digunakan sebagai bahan untuk mendapatkan informasi tentang masyarakat tertentu. Dengan demikian, pandangan sosial pengarang diperhitungkan jika peneliti karya sastra sebagai cermin masyarakat.
3. Fungsi sosial sastra, maksudnya seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai-nilai sosial. Dalam hubungan ini ada tiga hal yang harus diperhatikan (1) sudut pandang ekstrim kaum Romantik yang menganggap sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi. Karena itu, sastra harus berfungsi sebagai pengbaharu dan perombak, (2) sastra sebagai penghibur saja, dan (3) sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur.
Dalam bukunya A Glossary of Literature Term. Abrams menulis bahwa dari sosiologi sastra ada tiga perhatian yang dapat dilakukan oleh kritikus atau peneliti yaitu:
1. Penulis dengan lingkungan budaya tempat ia tinggal.
2. Karya, dengan kondisi sosial yang direfleksikan di dalamnya.
3. Audien atau pembaca (1981: 178).
Endraswara dalam bukunya Metodologi Pengajaran Sastra, memberi pengertian bahwa sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus pada masalah manusia karena sastra sering mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam menentukan masa depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi (2003:79). Sementara, Faruk (1994: 1) memberi pngertian bahwa sosiologi sastra sebagai studi ilmiah dan objektf mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga dan proses-proses sosila. Selanjutnya, dikatakan bahwa sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup.
Konsep sosiologi sastra didasarkan pada dalil bahwa karya sastra ditulis oleh seorang pengarang, dan pengarang merupakan a salient being, makhluk yang mengalami sensasi-sensasi dalam kehidupan empirik masyarakatnya. Dengan demikian, sastra juga dibentuk oleh masyarakatnya, sastra berada dalam jaringan sistem dan nilai dalam masyarakatnya. Dari kesadaran ini muncul pemahaman bahwa sastra memiliki keterkaitan timbal-balik dalam derajat tertentu dengan masyarakatnya; dan sosiologi sastra berupaya meneliti pertautan antara sastra dengan kenyataan masyarakat dalam berbagai dimensinya (Soemanto, 1993).
Studi-studi sosiologis terhadap sastra menghasilkan pandangan bahwa karya sastra dalam taraf tertentu merupakan ekspresi masyarakat dan bagian dari suatu masyarakat.
Kenyataan inilah yang menarik perhatian para teoretisi sosiologi sastra untuk mencoba menjelaskan pola dan model hubungan resiprokal itu.
pendekatan sosiologi sastra menaruh perhatian pada aspek dokumenter sastra, dengan landasan suatu pandangan bahwa sastra merupakan gambaran atau potret fenomena sosial. Pada hakikatnya, fenomena sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasikan. Oleh pengarang, fenomena itu diangkat kembali menjadi wacana baru dengan proses kreatif (pengamatan, analisis, interpretasi, refleksi, imajinasi, evaluasi, dan sebagainya) dalam bentuk karya sastra.
Pengarang merupakan anggota yang hidup dan berhubungan dengan orang- orang yang berada disekitarnya, maka dalam proses penciptaan karya sastra seorang pengarang tidak terlepas dari pengaruh lingkungannya. Oleh karena itu, karya sastra yang lahir ditengah-tengah masyarakat merupakan hasil pengungkapan jiwa pengarang tentang kehidupan, peristiwa, serta pengalaman hidup yang telah dihayatinya.
Dengan demikian, sebuah karya sastra tidak pernah berangkat dari kekosongan sosial. Artinya karya sastra ditulis berdasarkan kehidupan sosial masyarakat tertentu dan menceritakan kebudayaan-kebudayaan yang melatarbelakanginya.
Berangkat dari uraian tersebut, dalam tulisan ini akan diuraian pengertian Sosiologi Sastra Sebagai Pendekatan dalam Menganalisis Karya Sastra
Menurut Ratna (2003: 2) ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra yang perlu dipertimbangkan dalam rangka menemukan objektivitas hubungan antara karya sastra dengan masyarakat, antara lain.
1. Pemahaman terhadap karya sastra dengan pertimbangn aspek kemasyarakatannya.
2. Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya.
3. Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatarbelakangi.
4. Sosiologi sastra adalah hubungan dua arah (dialektik) anatara sastra dengan masyarakat, dan
5. Sosiologi sastra berusaha menemukan kualits interdependensi antara sastra dengan masyarakat.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra tidak terlepas dari manusia dan masyarakat yang bertumpu pada karya sastra sebagai objek yang dibicarakan.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa sosiologi sastra dapat meneliti melalui tiga perspektif, pertama, perspektif teks sastra, artinya peneliti menganalisisnya sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya. Kedua, persepektif biologis yaitu peneliti menganalisis dari sisi pengarang. Perspektif ini akan berhubungan dengan kehidupan pengarang dan latar kehidupan sosial, budayanya. Ketiga, perspektif reseptif, yaitu peneliti menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks sastra.



PEMBAHASAN

Pembahasan yang pertama yaitu merujuk pada biografi dari pengarang yaitu  Arifin Chairin Noer atau lebih dikenal dengan nama Arifin C noer (lahir di Cirebon, Jawa Barat, 10 Maret 1941 – meninggal di Jakarta, 28 Mei 1995 pada umur 54 tahun), atau lebih dikenal sebagai Arifin C. Noer, adalah sutradara teater dan film asal Indonesia yang beberapa kali memenangkan Piala Citra untuk penghargaan film terbaik dan penulis skenario terbaik. Latar belakang teaternya yang kuat ia raih dengan pertama bergabung dengan kelompok bentukan Rendra dan juga kemudian menulis dan menyutradari lakon-lakonnya sendiri seperti Kapai Kapai, Tengul, Madekur dan Tarkeni, Umang-Umang dan Sandek Pemuda Pekerja. Istrinya adalah aktris Jajang C. Noer. Darinya, Arifin mendapat dua anak, yaitu: Nitta Nazyra dan Marah Laut.
Banyak kraya film yang ia telah sutradai yaiu Rio Anakku – 1973, Suci Sang Primadona – 1977, Petualang-Petualang – 1978, Yuyun Pasien Rumah Sakit Jiwa – 1979, Harmonikaku – 1979 dan masih banyak lagi karya-karya lainnya
Berangkat dari pendapat Welek dan Weren bahwa hal yang pertama harus dikuak adalah pengarang 1) sosiologi pengarang yang mempermasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan menyangut pengarang sebagai penghasil sastra.
Setelah melihat tentang keberhasian Arifin C noer dalam meyutradai sebuah film yang mengangkat unsur kemerdekaan dengan turun terjun kepada cerita masyarakat yang sesungguhnya menguatkan pada naskah yang telah ia garap beberapa tahun lalu yaitu naskah “Matahari di sebuah jalan kecil” ketika membaca naskah tersebut baru saja melihat awal narasi disana dijelaskan bahwa
1.      Jalan itu bukan jalan kelas satu. Jalan itu jalan kecil yang hanya dilalui kendaraan-kendaraan dalam jumlah kecil. Tetapi sebuah pabrik es yang tidak kecil berdiri di pinggirnya dan pabrik itu memiliki gedung yang sangat tua. Di depan gedung itulah para pekerja pabrik mengerumuni SI MBOK yang berjualan pecel di halaman. Seorang laki-laki yang sejak malam terbaring, tidur di ambang pintu yang terpalang tak dipakai itu, bangun dan menguap setelah seorang yang bertubuh pendek membangunkannya. Laki-laki itu adalah PENJAGA MALAM.
2.      Seorang pemuda (anak laki-laki) membawa baki di atas kepalanya lewat. Ia menjajakan kue donat dan onde-onde. Suaranya nyaring sekali. Tak ada orang mengacuhkannya. Begitu ia lenyap seorang pemuda lewat pula yang berjalan dengan perlahan, berbaju lurik kumal, sepatu kain yang sudah rusak dan buruk, wajahnya pucat. Sebentar ia memperhatikan orang-orang yang tengah makan lalu ia pergi dan iapun tak diperhatikan orang. Gemuruh mesin yang tak pernah berhenti itu, yang abadi itu, makin lama makin mengendur daya bunyinya sebab lalu lintas di jalan itu mulai bergerak dan orang-orang semakin banyak di halaman pabrik itu. SIMBOKpun makin sibuk melayani mereka. Lihatlah!
Dari cuplikan awal cerita terlihat disana sperti kehidupan sehari-hari yang dimana terlihat ada seorang penjaga malam, si mbok, kemudian ada pemuda yang membawa baki di atas kepalanya. Alasan memilih teori sastra karena sudah terlihat jelas dari awal cerita memperlihatkan kehidupan masyrakat yang berada di sebuah jalan kecil dan banyak pembuktian bahwa pengarang memberikan setitik kecerahan bagi pembaca naskahnya tentang Negara Indonesia yang sedang disorot banyak Negara, memang naskah ini condong pada gambaran bangsa Indonesia disana ada dialog tentang perbandingan pada jaman dahulu dan jaman sekarang ini.

SI PECI                : Dulu?
SI TUA                 : Ketika jaman normal.
SI KURUS           : Jaman Belanda.
 SI TUA                 : Ya, jaman Belanda. Untuk sehelai kemeja saya hanya   membutuhkan uang sehelai rupiah.
SI KURUS           : Tapi untuk apa kita melamun, untuk apa kita mengungkap-ungkap yang dulu?

Ya itu hanya sekedar gambaran tentang negara Indonesia yang dulu itu bisa dikatakan jaman normal atau jaman Belanda ketika membeli apa yang diinginkan itu dapat terbeli tetapi ketika melihat jaman sekarang serba susah serba sulit. Tetapi ada juga orang yang menghiraukan tentang jaman dahulu karena yang dulu tidak usah di ungkap-ungkap lagi karena kita sedang menjalani kehidupan yang ada di depan mata kita. Dan setelah ada cerita yang menarik pada naskah tersebut yaitu tentang cerita kucing dan “TIKUS” seolah-olah apa yang ada dialog itu tidak penting atau hanya isapan jempol semata tetapi ketika dikaji ulang TIKUS itu menceritakan seorang koruptur.

SI KURUS          : Bahkan kita takkan percaya lagi pada kucing. Kucing sekarang takut pada tikus dan tikus sekarang besar-besar, malah ada yang lebih besar daripada kucing, dan adapula tikus yang panjangnya satu setengah meter dan empat puluh kilogram beratnya. Tapi yang lebih pahit kalau kucing jadi tikus alias kucing sendiri sama kurang ajarnya dengan tikus.
SI PECI                : Ya, sekarang kucing malas-malas dan kurang ajar.
SI KACAMATA  : Dunia penuh tikus sekarang.
SI KURUS           : Dan tikus-tikus jaman sekarang berani berkeliaran di depan mata pada siang hari bolong.
SI TUA                 : Omong-omong perkara tikus, (batuk-batuk)                         sekarang ada juga orang yang makan tikus.
SI KACAMATA  : Bukan tikus, cindel. Orang Tionghoa di tempat saya biasa menelan cindel hidup-hidup dengan kecap, mungkin untuk obat.
SI TUA                 : Bukan cindel, tikus-tikus, Wirog. Petani-petani sudah sangat jengkel karena diganggu sawahnya, sehingga mereka dengan geram dan jengkel lalu memakan tikus-tikus sebagai lauk, daripada mubazir. Tapi ada juga yang memakan tikus itu sebab……….lapar.
SI PECI                : Ya, sekarang sudah hampir umum di kampung-kampung, bahkan ada juga anjuran dari pemerintah setempat.

“Dan tikus-tikus jaman sekarang berani berkeliaran di depan mata pada siang hari bolong hari” penggalan dialog tadi menceritakan tentang kehidupan para koruptor yang bebas dalam melakukan hal apapun meskipun itu menyengsarakan banyak rakyat contohnya Artalyta, Gayus Tambunan, Al Amin nasution, dan Nunun. Apakah ini penerus bangsa yang maunya hanya menyalahgunakan uang rakyat? Padahal Indonesia adalah Negara Hukum tetapi ketika seorang koruptor dipenjara Gayus bisa berkeliaran kemana saja yang dia mau dan hal yang sangat menyenangkan dapat berlibur ke luar Negeri dan hal tersebut bisa dibuktikan pada penggalan dialog tadi bahwa “tikus-tikus jaman sekarang berani berkeliaran di depan mata pada siang hari bolong”


SI KACAMATA             : Saya ingin anak saya memiliki yamaha bebek.
SI PENDEK        : Asal giat bekerja kita bebas berharap apa saja.
SI KURUS          : Tapi kalau masih ada korupsi? Anak kita akan tetap hanya kebagian debu-debunya saja dari motor yang lewat di jalan raya.
SI PECI               : Ya.
SI KACAMATA : Ya.
SI TUA                : Ya, sekarang kejahatan merajalela.
SI KURUS          : Semua orang bagai diajar mencuri dan menipu.
SI KACAMATA : semua orang.
SI KURUS          : Uang serikat kerja kitapun pernah ada yang menggerogoti (melirik kepada si pendek)
SI PECI               : Ya, setahun yang lalu. (melirik si pendek)
SI KACAMATA : Ya, dan sampai sekarang belum tertangkap tuyulnya. (melirik pad si pendek)
SI TUA                : (mengangguk-angguk)

Semua orang bagai diajar mencuri dan menipu” banyak fakta yang membenarkan hal itu ternyata mencuri dan menipu itu ada sekolah yang menerima siswa untuk diajarkan mencuri. Sebenarnya dialog ini hanya obrolan seperti biasa tetapi dari hal kecil hanya obrolan biasa ternyata memberikan bukti yang cukup akurat di Negeri ini. Sekarang televisi bukan hanya menyiarkan acara hiburan saja namun di sisi positifnya juga televisi menayangkan hal-hal yang bisa memberikan manfaat yang banyak. Arifin C. Noer lebih mengangkat realita kehidupan yang nyata, terbukti judul film Pengkhianatan G30S itu yang menyedot perhatian yang masa putarnya empat jam lebih dan pada era Orde Baru menjadi tontonan wajib setiap akhir bulan September, karena Arifin C Noer mengangkat kehidupan yang benar-benar terjadi saat ini mungkin pada jaman ini korupsi sedang merajalela di Negeri ini jadi sepertinya cocok untuk diberikan variasi ketika dalam obrolan hangat diselipkan tentang korupsi.

SIMBOK                    : Ada yang hilang?
PEMUDA                   : Barangkali tidak.
SIMBOK                    : Apa?
PEMUDA                   : Dompet.
SIMBOK                    : Dompet? Ada uang di dalamnya?
PEMUDA                  : Juga surat keterangan penduduk. Tapi (mengingat-ingat) barangkali saya lupa dan tidak hilang. Tadi malam saya mengenakan baju hijau dengan celana lurik hijau. Yang mungkin dompet itu dalam saku baju hijau….. Berapa Mbok?
SIMBOK                    : Nasi dua.
PEMUDA                   : Tempe dua, tahu tiga.
SIMBOK                    : Delapan puluh.
PEMUDA                  : (seraya hendak pergi) Sebentar saya pulang mengambil uang. Dompet saya dalam saku baju hijau barangkali.
SIMBOK                    : Nanti dulu.
PEMUDA                  : Tak akan lebih dari sepuluh menit. Segera saya kembali.
SIMBOK                    : Tapi sebentar lagi saya mau pergi dari sini.
PEMUDA                   : Tapi dompetku ketinggalan di rumah. Sebentar rumahku tidak jauh dari sini.
SIMBOK                    : Ya, tapi sebentar lagi saya akan pergi dari sini.
PEMUDA                   : Sebentar (akan pergi)
SIMBOK                    : (berdiri dan berseru) Hei, nanti dulu. Bayarlah baru kau boleh pergi.
PEMUDA                   : Jangan berteriak. Tentu saja saya akan membayar. Tapi saya mesti mengambil uang dulu di rumah. Mbok tidak percaya?
SIMBOK                    : (diam)
PEMUDA                   : Tunggulah sebentar, saya orang kampung sini juga.
                                                  
Disinilah terjadi konflik ketika seorang pemuda meminta ijin untuk mengambil dompetnya yag tertinggal di rumahnya namun beberapa orang tidak mengijinkan pemuda itu untuk pergi. Hal seperti ini yang ada di kehidupan sehari hari wajib waspada ketika seseorang yang baru dikenal itu  berani memberikan janji yang patut kita curigai, berbelit-belit pemuda itu menjelaskan alasannya untuk pergi sebentar hanya untuk membawa dompet yang tertinggal atau yang hilang. Semua orang yang tadi berbincang-bincang ketika sedang memakan makanan pecel yang si Mbok ikut berbicara.

SI PECI                      : Ia menolak melepaskan bajunya.
SI SOPIR                   : Itu tidak adil, ia bisa menolak untuk telanjang badan tapi ia makan tanpa bayar seenaknya. Itu tidak adil. (pada pemuda) He, anak muda. Kau pemuda Indonesia, bukan? Tidak, jangan mengangguk! Kalau kau meng-iya-kan pertanyaan saya kau sama dengan mengatakan bahwa pemuda Indonesia itu dibolehkan makan di warung tanpa bayar. Tidak, tanah ini akan menangis mendengar cerita itu. Dengarkan! Dulu waktu sehabis perang saya juga pernah menjadi pencopet, tanpa perduli lagi. Tapi malang rupanya tangan ini terlampau kasar sehingga tangan ini lebih suka diborgol, dalam penjara. Nah, di tempat yang sepi itu aku mengakui bahwa aku telah menyakiti orang, menyakiti hati dari tanah yang kita cintai ini dan pasti Tuhan akan menutup pintuNya bagi orang semacam aku. Sebab itulah setelah aku keluar dari rumah yang baik dan mulia itu, kemudian aku menjadi lebih maklum bahwa kita tak boleh berbuat jahat. Tidak, jangan. Tapi dengarlah lagi! Kau tahu, kalau kau berjalan ke arah barat dari arah sini kau akan sampai pada sebuah perempatan, di mana berdiri beberapa batang pohon beringin. Kau tentu sudah tahu di belakang pohon beringin itu berderet asrama. Dan kau tahu asrama apa itu? (lama) Asrama Polisi! Nah, kau suka kuantarkan ke asrama itu?

PEMUDA                  : (diam)
SI SOPIR                   : Suka! Tentu tidak, ya? Nah, copot bajumu!
PEMUDA                  : Saya malu.
SI SOPIR                   : Jangan malu-malu (keras) copot!


Jadi pengarang disini mengibaratkan bahwa “pemuda Indonesia itu dibolehkan makan di warung tanpa bayar” jadi semua pengalaman yang ada di Negeri ini deceritakan kembali oleh pengarang ketika pengarang lebih melihat dari realitas kehidupan yang nyata ketika ketika dengan tampang yang memelas agar dia bisa diloloskan untuk tidak membayar pecel yang di jual oleh si mbok, tetapi karena si mbok memercayai si pemuda itu dan akhirnya si pemuda itu meyerahkan baju yang dipakainya. Pengarang disini memberikan sebuah kasus yang sulit dipecahkan ketika kata-kata dari pemuda itu membuat pemabaca itu yakin bahwa dia akan berbuat baik.
Namun titik terang dari naskah ini bahwa memang benar bahwa pemuda yang sangat dicurigai banyak orang ternyata dia adalah penipu yang sangat handal layaknya seekor belut.

PENJAGA MALAM : Minta pecel yang pedes (kedinginan). Katanya tadi ada pemuda yang mau menipu?
SIMBOK                   : (tak begitu acuh) Ya.
PEMJAGA MALAM : Bagaimana tampangnya?
SIMBOK                   : Kurus dan cantik.
PENJAGA MALAM : Pakai baju lurik.
SIMBOK                   : Ya, kalau tidak salah.
PENJAGA MALAM : Bajigur! Bajigur! Kurang ajar dia. Tapi dia tak jadi menipu di sini bukan? Kemana ia? Jangkrik anak itu! Belut!
SIMBOK                   : Ada apa? Ada apa?
PENJAGA MALAM : Pasti dia. Kemarin malam dia juga menipu di sebuah warung di pasar Kauman.
SIMBOK                   : Haa….? (menelan ludah) Ya, Allah.












KESIMPULAN

Berangkat dari pengertian terori kajian sosiologi sastra ,Faruk (1994: 1) memberi pengertian bahwa sosiologi sastra sebagai studi ilmiah dan objektf mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga dan proses-proses sosila. Selanjutnya, dikatakan bahwa sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup. Jadi pengarang memang menonjolkan unsur kehidupan dalam bermasyarakat dimana dalam naskah ini ada beberapa faktor yang sedang melanda masyarakat kita contohnya ada kasus korupsi yang diselipkan ketika adanya dialog antara si peci, si kacamata dan si kurus. Bahwa memang terbukti dengan pengarang memenangkan berbagai piala citra untuk karya yang pernah di film kan dan semua itu ada pada dalam kehidupan yang pernah dialami oleh pengarang.